Selasa, 09 Oktober 2012

Tafsirkan

Hari ini ku coba untuk kembali ke ladang emas yang sempat dulu ku gali. Berkobar-kobar semangat ini jalan kearahnya. Aku tak peduli bila nanti ada hewan buas menghadang. Tujuanku keatas bukit, menemukan kembali ladangku dan pulang membawa bongkahan emas yang tak akan kulepas dengan harga rendah kepada para tengkulak. Angan-angan yang membuat api dalam tubuh ini berkobar, ini menjanjikan.

Memang tak mudah untuk sampai ke atas bukit, hutannya terkenal banyak akan hewan buas, belum lagi sisa-sisa ranjau pasca Perang Dunia ke II yang senantiasa menggoda niatku untuk mencari tambang emas yang tempatnya relatif mudah. Tapi aku sudah terlanjur berharap dengan ladang emas itu, angan-anganku pulang dengan memanggul kepingan emas sudah sering keluar masuk kedalam kepalaku. Baru saja aku selesai menaruh palu dan pahat kedalam tas kecilku, memang hanya itu peralatan yang ku punya, aku tak punya alat berat, aku tak punya dinamit, tapi aku muda, aku kuat, aku semangat. Orang bijak mengatakan " yang paling penting adalah kemauan", nah kata-kata ini yang kupegang untuk berusaha memindahkan bukit itu.

Musuhku bukanlah hewan buas atau ranjau itu, tapi musuhku yang sebenarnya adalah keputus asaan dan kejenuhan. Bukit itu letaknya bermil-mil dari rumahku, mungkin aku semangat hari ini, tapi situasi bisa berubah ketika kondisi ku sudah jenuh. Aku juga benci keputus asaan, putus asa bukan cuma bisa merusak mimpi tapi keputus asaan bisa melenyapkan rasa cintaku pada pekerjaanku ini.

Aku ingin meniru kebijakan petinggi militer Jepang pada saat menghancuran Pearl Harbor yang sengaja mengisi cadangan bahan bakar pesawatnya untuk sekali jalan, sehingga mau tidak mau prajuritnya melakukan "kamikaze". Aku ingin seperti itu, aku ingin menambang emas sampai mati, aku cinta pekerjaan ini.

Aku harap aku bisa secepatnya pergi ke ujung bukit itu, aku tak mau menunggu lama, karena waktu membuat aku lemah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar