Kamis, 04 Oktober 2012

Hujan yang Mengingat

Akhirnya hujan turun juga, setelah lama dinantikan Raja semesta "mengucurkan" juga air kasih sayangnya. Hujan sore ini menemani pulang kuliahku di bis kota yang kondisinya tidak cukup baik ini. Bocor disana-sini membuat penumpang merelakan otot kakinya untuk kembali menopang tubuhnya. Saling bergantian turun naik penyanyi jalanan mengundi nasib, menambah hiruk pikuk sang raja jalanan ini. Diskusiku dengan seorang teman dan lampu yang remang-remang menambah nikmatnya suasana petang itu, tapi sayang harus kuakhiri perbincangan asyik itu.

Rupaya diluar masih gerimis, kuangkat hoodie keatas kepalaku. Hujan memang berkah, tapi menurutku tidak bagi penjaja kaki lima, mata mereka kosong, sesekali waja mereka menghadap langit, aku bisa baca pikirannya, apa lagi supaya berharap hujan ini berhenti dan kembali mereka bisa berburu Rupiah. Dalam jingga lampu jalanan ku berjalan ditepi. Masih dalam perasaan iba ku ingat bapak tua penjual kincir angin kecil. Bapak tua itu yang sudah berumur itu sering kutemui di tepi jalan Ciledug-Paninggilan (semoga kalian beruntung bisa menemuinya). Biar kudeskripsikan bagaimana sosoknya, umurnya kira-kira 70 tahun, Mengayuh sepeda tua, memakai peci yang tak jelas warna aslinya. Kincir angin yang ia jual pun sangat sederhana, hanya dari potong kecil bambu dengan beberapa sampul warna dibagian kincirnya dan ditambahkan bunyi-bunyian yang membuat anak-anak ingin memilikinya.

Bapak tua ini berjalan menjajakan dagangannya cukup jauh, ia memakai sepeda tetapi tak dikayuhnya, ia hanya duduk dan menghempaskan kakinya keaspal sedikit, perlahan, meter demi meter, karena kuperhatikan sepedanya tak memiliki rantai.

Tak sedikit pengendara melihat dan memberhentikan kendaraannya untuk membeli 2 atau 3 batang kincir angin, mungkin mereka iba karena tak tega melihat bapak kurus itu menjajakan dagangan dengan cara yang membuat mata ini tak ingin lama-lama menatapnya.

Timbul pertanyaan dalam kepalaku, kemana anaknya? apakah ia berkeluarga? bagaimana dengan istrinya?

Pada akhir akhir ini aku ingin menemui Bapak tua itu, tapi tak kutemukan lagi, Aku takut Bapak itu tersrempet mobil lalu mati, aku takut ia tak mampu lagi menghempaskan kakinya lagi dan yang aku paling takut kita tak bisa ambil contoh dari semangat beliau.

Pada judul "Patas AC" aku sudah menceritakan bagaimana aku mendapatkan pelajaran dari pengamen bis kota yang "mahir" bersyukur. Beruntunglah kita semua. Beruntung. Beruntung. Beruntung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar