Rabu, 03 Oktober 2012

Tafsirkan Sesuka Kalian

Tak terasa malam hampir tiba, aku kira aku baru membuka mata ini satu jam. Waktu memang sombong, ia berlari dengan cepat, bahkan Usain Bolt dibuat terengah engah olehnya. Malam tiba, tiba pula saat saat puncak pikiran yang mengganggu. Sudah satu bulan pikiran ini rakus memenuhi sel demi sel di otaku. Pikiran ini pun yang memaksaku untuk mencurahkan keluh kesah dengan berbatang-batang tembakau gulung. Aku percaya bila waktu yang akan menguapkan semua permasalahan, tapi aku belum bisa merangkul waktu, ia tersinggung setelah ku anggap fatamorgana. 

Banyak sudah harapan-harapan muncul seolah menjadi penyapu suara serak tenggorokan ini. Aku sedikit membuka mata ketika ada suara dari telinga kanan ku yang berkata "jangan cari tempat bersandar, tapi kau buat tempat bersandar itu". Suara yang menggugah dan membakar kembali api dalam hati ini. Aku beranggapan bila kita seperti disebuah padang rumput, dan kita hidup bagai domba-domba gembala. Domba-domba gembala yang merindukan alam bebas, hidup bebas, tidak lagi digiring oleh sang pengembala. Bebas dan kembali ke alam adalah cita-cita semua ternak, cita-cita yang pernah dirasakan para nenek moyang ku dulu.

Masih menganalogikan domba, saat itu kupandang seluruh padang rumput, adakah celah untuk melarikan diri. Sambil menggosok-gosokan tanduku ke fosil kayu aku sempat membayangkan bila aku bebas nanti, akan kudaki gunung, akan kucoba semua rumput terbaik di planet ini dan akan kurasakan air dari mata air tersegar di setiap pelosok dunia. Saat asyik-asyiknya membayangkan hal itu aku dikejutkan kedatangan sang gembala, rupaya hari sudah petang, sudah waktunya kembali kekandang.

Pagi hari selalu ku bersemangat, mengapa? karena hanya di pagi hari kurasakan rumput sesegar ini, rumputnya ditambahi bonus embun pagi oleh raja semesta. Setelah kulalap habis rumput itu biasanya aku asik menikmati hari di atas pohon, entah apa nama pohon itu, tak ada satu pun yang tahu sejarah pohon itu pokoknya pohon itu sudah ada sejak kakek nenekku remaja. Vegetasi dari padang rumput ini unik, pohonnya pendek-pendek mungkin alam sekitar sini hobi berbonsai seperti sebagian manusia.

Hari itu cuca mendung, dan sekarang gerimis mulai turun, aku dan orang tuaku berebut dahan salah satu pohon dengan keluarga dari domba lain. Tak ada domba yang  ingin bulunya basah, butuh waktu lama untuk mengeringkan bulu bulu itu belum lagi ditambah dinginnya tubuh disebabkan dari basahnya bulu.

Aku dan orang tuaku menatap luas padang ini, sambil menanti hujan yang kian lebat ini berhenti. Ayah berkata "kau ingin bebas nak suatu hari nanti?" aku menjawab dengan semangat "jelas yah, aku ingin keliling dunia, aku ingin seperti manusia, aku ingin seperti Marcopolo". Lalu Ayah menimpali "hebat kau, lalu kau tega tinggalkan Ayah? kau tega tinggalkan Ibumu? Kita semua di padang ini hanya menanti waktunya tukang daging datang dan menukar kita dengan uang, lagi pula kakimu belum kuat, kau pasti kalah bila adu lari dengan singa, dengan leopard atau binatang buas lainnya. Silahkan kau jelajahi dunia ini asal kau jangan lupa dengan kawanan domba-domba ini, asal kau mampu berlari lebih cepat dari sekarang". Tak ada jawaban dariku, aku mengerti makna "lupa" yang diucapkan Ayah, tapi tentang "berlari" aku masih rancu apa mampu aku mengimbangi kecepatan waktu yang jelas-jelas telah membuat Usain Bolt jatuh pingsan kelelahan?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar